Rangkaian 7 Summmits Indonesia menjadi obsesi bagi para pendaki gunung di tanah air. Salah satunya adalah Gunung Binaiya yang berlokasi di Pulau Seram, Maluku. Kali ini, pendakian Gunung Binaiya dilakukan bulan November dan Desember 2017, sekaligus menjadi agenda perjalanan di penghujung tahun.

Pendakian dimulai dari Desa Piliana. Sebelumnya kami menjalankan ritual adat bersama Bapa Raja di rumahnya. Ritual adat ini merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan setiap pendaki di Gunung Binaiya. Setelah itu, pendakian dimulaii denga menyusuri area perkebunan warga hingga tiba di sungai Yahe. Kami menyusuri Sungai Yahe sejauh 200meter, pemandangan sepanjang sungai Yahe berupa hutan tropis yang sangat rapat . Setibanya di jalur utama, kami menyempatkan diri untuk membasuh muka dan mengisi air di Sungai Yahe. Setelah muka terasa lebih segar, segera kami mengangkat ransel dan menggantungkannya kembali ke pundak. Perjalanan kami lanjutkan kembali menyusuri jalur yang menanjak dan memasuki hutan rotan. Sambil menyusuri jalur menanjak, kami harus menggoyangkan badan untuk menghindari duri rotan yang tajam. Beberapa kali kaki harus diangkat lebih tinggi melewati akar dan tanah yang licin untuk menempatkan pijakan kaki yang pas. Sore hari, kami tiba di Camp Aimoto. Disana sudah terdapat shelter kayu/Hut.

Ketika hari semakin malam, makanan sudah tersedia. Tanpa berpikir panjang lagi kami langsung menyantap makanan tersebut, sedangkan Pak Ferry sedang asik dengan daun latang yang diambil di sepanjang jalur. Daun tersebut digosokkan ke kulitnya sehingga menjadi bentol. Ternyata penduduk Desa Piliana biasa melakukan cara ini ketika mendaki Gunung Binaiya, agar badannya tetap panas. Panas tersebut dihasilkan dari efek bentol pada kulit. Kami pun juga penasaran untuk mencobanya. Saat daun tersebut digosokkan ke kulit, lama kelamaan terasa gatal dan muncul bentol di kulit. Reaksi bentol tersebut membuat kulit jadi terasa panas. Malam pertama ini diakhiri dengan tidur nyenyak karena panas akibat Daun Latang.

Perjalanan hari kedua masih dengan menyusuri hutan Manusela. Kali ini derap langkah kaki disambut oleh siulan burung yang terdengar merdu. Mereka saling bersiulan seakan menyapa temannya yang berada di kejauhan. Sesekali kami berdiam untuk mendengar sejenak dan mencari di mana mereka berrada. Ketika hari semakin siang, kami memutuskan untuk isitirahat di atas lahan datar yang tidak begitu luas, di sana kami duduk bersenderkan ransel yang tertahan oleh tanah yang lebih tinggi. Sambil mengunyah makanan dan bersenda gurau, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara pohon rubuh yang sangat kencang. Seketika itu juga suasana berubah menjadi hening. Bayu langsung berdiri dengan sigap, melihat ke arah datangnya suara tersebut, namun pohon tersebut tidak terlihat. Tanpa berlama-lama lagi kami langsung mengemasi barang dan melanjutkan perjalanan. Hujan turun ketika kami masih dalam perjalanan. Setibanya di Camp Isilali hujan mulai reda. Di atas dedauanan kering, kami mendirikan tenda untuk beristirahat.

Keesokan hari, air hujan masih berjatuhan dan kami terbangun dari tidur. Ternyata, di luar sudah ada Pak Ferry yang sedang menghangatkan badannya dengan api. Hanya bermodalkan keterampilan dan pengalaman, Pak Ferry dengan lihainya mempertahankan api agar terus menyala meski hujan turun. Kami pun juga ikut menghangatkan badan sekaligus mengeringkan kaos kaki yang basah karena hujan kemarin. Hujan semakin reda namun suara gemuruh masih terdengar dari kejauhan. Setelah sarapan dan mengemasi barang, kami melanjutkan perjalanan yang terus menanjak menyusuri hutan lebat. Tujuan kami kali ini adalah Camp Waifuku.

Camp Waifuku

Semakin lama, langkah kami semakin jauh, hutan lebat berganti menjadi batuan karst yang menghiasi jalur. Kali ini kami berjalan diatas batuan karst hingga tiba di Puncak Bintang. Puncak Bintang berupa area batuan karst terbuka. Ketika itu, hujan semakin reda tapi kabut tebal masih menyelimuti pandangan kami. Perjalanan kami lanjutkan supaya tiba di Camp Waifuku tidak dalam kondisi gelap. Mendekati Camp Waifuku, vegetasi mulai berganti menjadi rerumputan dan tanaman perdu. Di sini juga kami bertemu dengan Pakis Binaiya, salah satu vegetasi endemis di Taman Nasional Manusela. Setibanya di Camp Waifuku, kami merasa sangat beruntung dan berterima kasih kepada hujan yang mengguyur dari tadi malam, sehingga terdapat air di Camp Waifuku. Jika tidak, kami harus memenuhi kebutuhan air di Camp Isislali atau di Aimoto. Siang mulai berganti sore dan kabut semakin memudar.  jajaran pegunungan di Manusela mulai terlihat menghiasi pemandangan di sore hari.

Tiba saatnya kami mengunjungi atap sulawesi di hari ke empat pendakian Gunung Binaiya. Setelah berjalan sekitar 10 menit dari Camp kami tiba Puncak Waifuku. Perjalanan kami lanjutkan melewati ridge (jalur/punggunan yang menghubungkan antara puncak/bukit) yang terbuka. Kami melewati area hutan lumut yang sangat indah. Ketika berada di Hutan Lumut, kami sempat terpaku dengan pemandangan tulang binatang yang tersusun berantakandi atas lumut. Kemungkinan ini adalah tulang rusa yang habis termakan oleh kerasnya alam Binaiya. Ketika kami berjalan, tiba-tiba seekor rusa muncul dari balik pohon. Rusa tersebut berlari kencang berpindah ke balik pohon lainnya. Kami semua tersentak diam menghentikan langkah, berharap dia menampakkan diri kembali agar bisa mendokumentasikannya, namun rusa tersebut tidak menampakkan dirinya lagi.

Stone Garden di Puncak Siale

Mendekati Puncak Siale, vegetasi berubah menjadi lebih pendek. Jalur yang kami pijak hanya beralaskan rumput serta batuan karst. Setibanya di Puncak Siale, kami melihat bendera merah putih. Bendera tersebut terlihat sangat lusuh dan terikat di sebilah potongan akar pohon yang berdiri diantara bebatuan. Bendera ini merupakan saksi sejarah bagi para pendaki yang berhasil mencapai Puncak Siale. Satu hal yang membuat kami kagum dengan puncaknya adalah, adanya area seluas 3 kali lapangan futsal. Di sana terdapat bentangan terbuka yang ditumbuhi rumput kecil serta batu-batu karst yang terhampar luas seperti stone garden. Sekitar satu jam kami berada di area Puncak Siale yang masih tertutup kabut tipis. Lanjut kami kembali turun ke Camp Waifuku dan bermalam di sana.

Terik matahari pagi menyinari area camp di hari ke lima pendakian. Sambil memasak sarapan, kami menjemur peralatan yang basah dari kemarin malam. Ketika menikmati sarapan, kami sempat kaget dengan kondisi sumber air di Camp yang sudah kering, beruntung kemarin sore semua wadah untuk menampung air kebutuhan hari ini sudah terpenuhi. Kami melanjutkan perjalanan dengan menuruni jalur yang ditumbuhi tanaman perdu yang lebat. Ternyata jalur sisi utara sudah banyak yang tertutup, mungkin karena jarang dilewati. Dengan bersenjatakan golok, Pak Ferry coba untuk membuka jalur sambil diarahkan oleh bayu menggunakan GPS. Perjalanan pagi kali ini disuguhkan pemandangan rangkaian hijaunya pegunungan di Manusela. Beberapa kali kami sempat melihat vegetasi jamur yang menghiasi pohon di sepanjang jalur.

Perjalalanan menuju Desa Kanikeh

Kali ini, jalur membawa kami ke tepian sungai Wayamsela. Sungai yang cukup lebar ini harus diseberangi, untungnya arus tidak kencang, jadi tidak perlu susah payah untuk menyeberanginya. Ketika hari sudah gelap, kami masih harus tetap berjalan menyusuri jalur dengan bantuan headlamp. Ketika Desa Kanikeh sudah semakin dekat, kami masih harus menyeberangi sungai, namun kali ini arusnya nya jauh lebih deras dibandingkan Sungai Wayamsela. Dengan bantuan alat penerangan, kami langsung mengeluarkan tali webbing dari dalam ransel. Saya dan Bayu membuat pegangan tangan untuk penyeberangan. Setelah memastikan semuan anggota tim menyeberangi sungai, kami melanjutkan perjalanan melewati jalur tanah yang becek hingga tiba di Desa Kanikeh. Malam ini kami istirahat di rumah kayu Desa Kanikeh.

Pagi hari dibawah teriknya sinar matahari kami menyempatkan untuk bercengkrama dengan Kepala Desa. Setelah itu, perjalanan berlanjut dengan menyeberangi jembatan kayu sepanjang  50 meter. Perjalanan kali ini tidak begitu curam, dan udara tidak seperti sebelumnya yang begitu dingin. Perjalanan kami lanjutkan dengan melewati kawasan hutan dan menyeberangi sungai Wasamata. Malam telah tiba, ketika kami sampai di desa Roho, terlihat cahaya yang muncul dari dalam rumah. Tidak berlama-lama kami langsung menghampiri rumah tersebut. Masih dalam keadaan lelahsetelah seharian berjalan, kami masih harus meminta izin kepada pemilik rumah untuk bermalam. Peralatan sudah dibereskan, dan baju tidur sudah dikenakan. Ketika mata ingin dipejamkan, tiba-tiba pemilik rumah membawakan teh hangat dan sepiring bagea yang terbuat dari sagu. Akhirnya kami kembali bangun untuk menikmati cemilan malam dan melanjutkan isitrahat.

Pagi ini setelah menikmati sarapan, kami langsung bergegas melanjutkan perjalanan. Tak lupa kami memberi salam terima kasih kepada ibu pemilik rumah. Perjalanan kali ini melewati hutan dan perkebunan warga. Dari kejauhan sudah terlihat Desa Huahulu. Suasana hati semakin senang karena sebentar lagi perjuangan di Gunung Binaiya akan berakhir. Setibanya di Desa Roho, ternyata mobil kuning yang menjemput kami sudah menunggu dari semalam. Akhirnya perjalanan tujuh hari di gunung Binaiya berakhir di Desa Huahulu dan kami melanjutkan perjalanan menuju sawai untuk menikmati laut utara Pulau Seram. Terima kasih Manusela.

Penulis: Edward Balandua